Minggu, 27 November 2011

SETAPAK KISAH JEJAK CINTA

Setapak kisah mencuri ingatan
Basah benak singgahi renungan

Awal pertautan cinta
Dibawah pucuk-pucuk ranting cemara

Rasa kita terserak disana, penuh kekaguman
Bernafas bersama hijaunya rerumputan

Dekap hangat seiring mentari
Mengantar kebekuan pagi pergi

Pena-pena alam dalam kesibukan
Melukis wajah kita, berbingkai ranting dan dahan

Maribaya prasastikan roman
Saksi alam, jejak kenangan

Jejak kita melati
Pada karya cipta Illahi

Kini sudah sewindu berlalu
Namun masih lekat di benakku

Lalu hati bertanya-tanya, kapan senggang dihadapan
Hening, berbalut kerinduan

REPLIKA LUKA


Aku berdiri diujung tanduk
Menyusun sunyi dari ornamen luka
Dari helai rambutmu yang basah

Menjelma muara air mata
Saat kau berlayar digigil malam
Menjemput sisi lain usia yang kutawarkan

Ini adalah nadi yang paling perih
Memaksa kita memaparkan luka
Dari hiasan pisau bermata dua

Yang menikam jantungku jantungmu
Lalu beku di darahku penjarakanku
Di belantara sunyi yang kutakuti

KARENA KAU MEMANG INDAH


Bukan rayuan sayangku
Memanglah tak mudah
Merangkai kata, melukiskan pesonamu
Seandainya engkau memang tak indah
Semua menjadi mudah, karena memang engkau indah
Tak perlu majas rembulan
Sekedar menjadikan engkau purnama
yang paling menawan
Tak perlu seribu bintang agar hati benderang
Sepertinya
Aku pun tak perlu menuntaskan perjalanan subuh
Untuk membasuh setiap lelah jiwaku
Karena tetes embun itu, ada di kesejukan kasihmu
Pada tatap teduh matamu
Pada serekah senyum manis dibibirmu

Sabtu, 26 November 2011

BAYANG MASA LALU


Ada bayang masa lalu
Singgah di benak lamunanku
Tubuh kecil tersamar
Di balik semak belukar

Berlari-lari menyusuri terik hari
Di pematang sawah yang tak hijau lagi
Terjatuh, tersenyum dan bangkit lagi
Menari-nari bersama gemulai tangkai padi

Bertelanjang kaki bertelanjang dada
Kadang tersakiti tak jarang terluka
Tak pernah mengeluh pada ibunya
Tak pernah mengutuk hari, memaki hawa

Gundukan pasir, jejak kaki kecil
Bercengkrama udang-udang kecil
Ikan-ikan yang menggigil
Pasrah di ujung mata kail

Beranjak petang diantara cahaya remang
Jemari kecil menuntun kunang-kunang
Menuju cahaya menuju benderang
Menari-nari lagi bersama bulan dan bintang

Sudah letih seharian
Sudra kecil terlelap dalam buaian
Mimpi buruk mimpi indah bergantian
Tak pernah jadi pengharapan

Sebaris sinar dari balik bilik bambu
Singgah di wajah kecil lugu
Memanggil tubuh kecil pada cahaya
Pada setangkai daun hijau ada setetes embun untuknya

Lamunan terhenti
Dan kudapati setetes bening di pipi
Mimpi-mimpi sudra kecil kini
Menjadi realita yang harus kujalani

Kamis, 24 November 2011

EMPAT SEKAWAN HEBAT

Kita hanya mengadu strategi tepat
Menanti waktu-waktu terlewat cepat
Dan kaki yang dilipat
Bukanlah khidmat
Duduk rapi tidak sedang berdebat
Kadangkala sebungkus rokok habis terlumat
Sejenak terlupa dipundak kita beban berat
Sejenak kesenangan didapat
Sampai jam dinding berdentang empat
Kita adalah empat sekawan hebat

TAK SEPERTI ROTASI MATAHARI


Menunggumu tak seperti rotasi matahari
Tinggal ku terlelap dan kau hadir esok pagi
Memberikan senyum yang terindah
Menghangatkan seluruh jiwa

Menggapaimu seperti ku mengejar matahari
Secepat kuberanjak secepat itu kau menjauh
Sedang kekasihku butuhkan dirimu
Agar senyum manisnya selalu untukku

Ku tahu dirimu dambaan setiap manusia
Menjadi cerita yang takkan ada habisnya
Selama di dunia sungguh engkaulah raja
Dengan dinasti berbeda-beda memperbudak manusia

Bukan aku mengagungkanmu
Tidak pula mengubah cerita
Sungguh kadang kulelah mengejarmu
Birkan sejenak kau hening di otakku

PIPIT KECIL PENGAGUM RAHASIAMU

Dia menunggumu, di balik rimbun dahan
Di seberang rumahmu
Dialah pipit kecil dengan sayapnya yang rapuh
Bertengger berlama-lama sekedar menanti paras ayumu
Ketika engkau membuka jendela kamar
Dan dunia pun tahu betapa cantik parasmu
''ah seandainya untukku saja'',
''seperti kicauanku yang hanya untukmu''
(gumam pipit dalam hati)

Dialah pipit kecil dengan sayap rapuhnya
Dialah pengagum rahasiamu
Tak perlulah dunia tahu
Telah dijadikannya engkau mentari
Tak perduli tak termiliki
Tapi hangat sapamu yang selalu ditunggu
Sebagai penghangat jiwa kecilnya

Dialah pipit kecil yang sedikit gagu
Hanya berkicau saat auramu menyentuh paruhnya
Lalu terdiam membisu saat kabut mulai selimuti singgasanamu
Seketika cemas menyergap sanubari
Berapa lama lagi dia harus menunggu
Wajah ayumu hadir kala pagi ukir cerita baru

Dialah pipit dengan sayap rapuhnya
Dan akulah yang paling akrab dengannya
Dialah sahabatku yang selalu merindumu
Yang kutahu sepanjang waktu merindumu
Akulah pembawa berita ini, jangan tanyakan aku !
Aku adalah kunci sebuah rahasia
Dari pipit bersayap rapuh pengagum rahasiamu

Rabu, 23 November 2011

PADA HUJAN SORE INI

Bisakah kita memulai cerita dari hujan yang menyeka Mayapada
Dimana jejak-jejak luka di tanah, pun di hati terhapuskan
Lalu kita bercengkrama di tanah-tanah basah
Menebar benih-benih kasih yang kita punya
Pastikan kuncup mekar dan pada mahkotanya ada cinta
Menghela nafas bersama ketika semerbak bunga mulai terjaga
Dan ketika hujan reda ku ajak kau bergegas segera
Menjemput pelangi lalu memetik setiap kilau warnanya
Dan lembaran yang kosong kita lukis singgasana
Hanya kau dan aku adinda, meski kita bukanlah permaisuri dan raja
Tahta ini untuk cinta, dari rongga ketulusan jiwa

Sabtu, 19 November 2011

PENGGALI MAKAM SEJATI UNTUK TUAN YANG TAK PUNYA HATI

Kami hanyalah bidak dalam petak-petak
Menjadi budak tuan-tuan congkak
Berkehendak pun, kami tak layak

Kami kumpulan serdadu tanpa peluru
Bergerak maju selalu melawan waktu
Lelah di hati dan bahu, tuan tak mau tahu

Suatu saat kami ganti peranan
Menjadi singa-singa kelaparan
Jangan salahkan, tuan jadi santapan

Dan kami penggali makam sejati
Yang tak perlu peti mati
Sekedar pastikan, tuan raib ditelan bumi

Rabu, 16 November 2011

SAJAK SETENGAH PERJALANAN MALAM

Malam tadi semilir itu nafasmu
Dari untaian kata keramat
Yang jarang kudapat

Lalu menjadi bait-bait doa
Mengangkasa langit jingga
Menaklukan sajak pujangga

Pada diafragma yang sama
Mengalir hangat tak terkira
Adalah dekapan malammu Juwita

Memaksaku terjaga, menghitung mundur usia
Ketika malam, bintang, dan bulan
Masih dalam setengah perjalanan

Lalu kudapati pagi
Tetesan-tetesan embun
Di sela menguningnya dedaun

Semakin tersadar, merapuh bersama waktu
Entah berapa sajak tersisa
Hingga terlelap selamanya, dalam dekapan malam